Asyari Usman: Indonesia Yang Kini Membuang Hati dan Akal Sehat
BANDARpost .com – Sekitar tiga pekan yang lalu, saya menumpang kereta api murah-meriah dari Solo ke Jogjakarta. Saya naik KA Prameks yang ongkosnya sangat murah, cuma Rp8,000. Tanpa melakukan penelitian online dulu, saya berani mengatakan bahwa ongkos kereta rute Solo-Jogja ini merupakan yang termurah di dunia.
Hanya US$0.60 (enam puluh sen dollar) untuk jarak 56 kilomter. Cukup murah, bukan?
Namun suasana di dalam KA ini tidak bergengsi sama sekali. Selain tidak ada jaminan tempat duduk, kelihatannya para penumpangnya juga selalu lupa membawa hati.
Kesan saya, rata-rata penumpang sengaja tidak membawa hati mereka ketika menggunakan Prameks. Barangkali, di dalam KA ini selalu berlangsung pertarungan untuk mendapatkan tempat duduk. Pertarungan ini memerlukan ketegaan, kecuekan, dan ego yang besar. Kalau Anda naik Prameks pakai hati, itu berarti Anda siap untuk berdiri sepanjang perjalanan dari Solo sampai ke Jogja.
Sewaktu naik di Solo, saya masih dapat tempat duduk meskipun bukan di posisi yang diinginkan. Saya duduk di seat yang diperuntukkan bagi orang tua, wanita hamil atau orang yang lebih memerlukan.
Di perhentian pertama setelah Solo, ada sejumlah penumpang baru yang naik. Banyak yang harus berdiri. Diantara yang baru naik, saya lihat ada seorang wanita setengah baya. Saya mempersilakan ibu itu duduk di tempat duduk saya.
Yang sangat mengejutkan bagi saya adalah ketika di perhentian berikutnya naik lagi penumpang. Bukan kaget karena gerbong menjadi padat. Melainkan terkejut sambil agak dongkol melihat beberapa anak muda kekar yang cuek saja melihat seorang perempuan hamil tua yang baru naik dan terpaksa berdiri. Kemudian, ada lagi keluarga yang membawa dua anak balita yang masing-masing digendong ibu dan ayahnya.
Ibu hamil sempat berdiri 3-4 menit baru kemudian ada perempuan muda yang dengan enggan memberikan tempat duduknya. Saya mengamati dua anak muda laki-laki yang di depan mata mereka ada dua orang yang berdiri menggendong anak. Mereka berdiri sempat agak lama, lebih dari 10 menit.
Saya mulai tak sabar. Saya meminta kepada salah seorang anak muda itu agar memberikan seatnya kepada ibu yang menggendong anak. Alhamdulillah, anak muda itu tidak marah. Bahkan kelihatan tulus memberikan tempat duduknya.
Pikiran saya kemudian mengolah kejadian ini. Apakah sudah sedemikian parah kerusakan akhlak anak-anak muda Indonesia? Tidakkah ada lagi hati yang iba melihat orang tua berdiri di depan mata? Tidakkah ada lagi kepekaan melihat perempuan hamil yang berdiri di samping seat mereka? Sudah biasakah sekarang membiarkan perempuan berdiri di dalam KA sambil menggendong balitanya, sementara laki-laki atau perempuan yang masih muda duduk tanpa merasa “bersalah”?
Saya hampir 25 tahun tinggal di London, 2011 pensiun. Sampai saat saya terakhir kali menggunakan KA bawah tanah di ibukota Inggris itu tahun lalu, orang-orang muda dan kuat masih memakai hati mereka. Ketika melihat orang-orang yang lebih pantas duduk ketimbang mereka, orang-orang yang muda dan kekar saling bergegas menawarkan tempat duduk kepada orang-orang yang lebih berhak duduk. Itu di London. Begitu juga di sejumlah kota Eropa lainnya yang pernah saya lihat.
Bagi saya, sangat tak masuk akal kecuekan yang ditunjukkan terhadap orang-orang senior usia ketika mereka ini harus berdiri di depan anak-anak muda yang kebagian seat di KA Prameks. Biarpun kelas KA ini memang tidak menjamin semua orang duduk, rasa-rasanya tidaklah pantas anak-anak muda bersikap tak peduli dengan orang-orang tua yang tak kebagian tempat duduk.
Cuma, ini pengalaman langsung. Bukan cerita berangkai. Fakta yang juga terjadi di mana-mana. Seolah-olah, semua anak Indonesia tidak lagi mengenal dan memahami nilai-nilai keberadaban yang terkristalkan di dalam Pancasila. Seakan-akan para pendidik yang semestianya pancasilais, tak berhasil meneruskan kristal-kristal moralitas yang mulia itu kepada anak-didik mereka.
Seolah-olah selama ini para pemimpin, negarawan, begawan dan ilmuwan kita menyembunyikan nilai-nilai Pancasila itu. Sebaliknya memamerkan norma-norma baru yang berbasis individualisme. Yang mementingkan diri sendiri. Yang tak peduli terhadap orang lemah.
Atau, jangan-jangan kasus “tak berhati” yang saya saksikan di KA Pramesk itu sudah menjadi standar yang diterima oleh khalayak? Entahlah!
Tapi, jelas sekali saya menyaksikan banyak orang Indonesia yang kini membuang hati mereka. Sebagaimana banyaknya orang yang kehilangan akal sehat di panggung politik, ketika mendewa-dewakan penguasa yang tak sinkron dengan kebutuhan bangsa dan negara sebesar ini.(kl/ts)
Penulis: Asyari Usman, adalah mantan jurnalis senior BBC London
Sumber : Eramuslim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar