Seperti pepatah ‘tentara tua tak pernah mati’, beberapa purnawirawan militer senior telah menyatakan dukungan mereka untuk Presiden Joko Widodo atau penantangnya Prabowo Subianto dalam Pemilihan Presiden April 2019 mendatang. Bagaimana dukungan para perwira militer ini terhadap persaingan para capres? Inilah analisis Pilpres 2019 oleh Keoni Marzuki, peneliti RSIS Singapura.
Oleh: Keoni Marzuki (RSIS/Eurasia Review)
Pada Agustus 2017, beberapa perwira militer senior yang baru saja pensiun menjanjikan dukungan mereka untuk Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam upayanya untuk terpilih kembali. Para perwira ini membentuk kelompok advokasi sukarela, yang terdiri dari pensiunan perwira senior militer dan tokoh sipil terkenal bernama Cakra 19, yang saat ini diketuai oleh Andi Widjajanto, mantan Sekretaris Kabinet Jokowi.
Sementara itu, Bravo 5—kelompok sukarelawan pro-Jokowi lain yang terdiri dari beberapa perwira senior militer yang berpengaruh dari angkatan 1970-an—baru-baru ini diaktifkan kembali setelah sebelumnya mendukung kampanye sukses Jokowi tahun 2014.
Meskipun keduanya adalah kelompok independen, namun kedua kelompok itu memiliki ikatan dengan Luhut Pandjaitan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan sekutu dekat Jokowi yang kerap menjadi pemecah masalahnya. Beberapa pensiunan perwira tinggi seperti mantan panglima Moeldoko juga bertugas dalam kapasitas resmi di tim kampanye Jokowi.
Advertisement
Penantang Jokowi, Prabowo Subianto, mengantongi dukungan militer yang luas, yang berasal dari beberapa perwira tinggi pensiunan, seperti Djoko Santoso, Moekhlas Sidik, Yunus Yosfiah, Judi Magio Yusuf, dan Tedjo Edhy Purdijanto.

Purnawirawan Menjadi Aset Penting

Pensiunan perwira militer menjadi aset penting bagi Jokowi dan Prabowo. Perwira militer senior Indonesia biasanya memegang jabatan di komando militer lokal, atau pangkalan militer lokal, pada tahap awal karier militer mereka. Peralihan tugas ini memungkinkan mereka—dari waktu ke waktu—untuk memupuk hubungan dengan individu-individu terkemuka yang memiliki pengaruh politik yang cukup besar di tingkat akar rumput dan regional.
Koneksi dan jaringan mereka dengan politisi lokal dan pemegang kekuasaan bisa sangat berguna dalam menarik pemilih atau mengamankan dukungan profil tinggi dari tokoh-tokoh lokal yang berpengaruh, serta memperoleh informasi penting yang dapat digunakan untuk membentuk strategi kampanye.
Walaupun ini tidak secara otomatis menjamin mereka dapat memberikan hasil atau dukungan besar untuk kandidat pilihan mereka, namun itu memberi mereka banyak pengaruh potensial dalam mengamankan dukungan akar rumput di distrik kompetitif untuk kandidat yang mereka dukung.
Kontribusi penting lain yang dapat ditawarkan oleh pensiunan perwira militer adalah keuangan. Setelah meninggalkan militer, banyak perwira tinggi masuk ke sektor swasta, khususnya industri ekstraksi sumber daya yang menguntungkan—seperti pertambangan dan energi—yang memungkinkan mereka untuk mengumpulkan kekayaan dan mengolah jaringan besar mitra bisnis dan rekan bisnis yang kaya.
Kampanye untuk jabatan publik di Indonesia menjadi usaha yang semakin mahal. Kementerian Dalam Negeri Indonesia memperkirakan bahwa kandidat wali kota atau bupati menghabiskan dana Rp20 miliar hingga Rp100 miliar (sekitar $1,5 hingga $7 juta) untuk mendanai seluruh kampanye mereka. Mantan perwira militer yang kaya dapat membantu mengimbangi biaya-biaya ini, baik secara langsung atau dengan membawa sekutu kaya lainnya.
Presiden Indonesia Joko Widodo (kanan) berbicara dengan mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo saat mereka berjalan melewati jet tempur dan senjata selama latihan militer di Pulau Natuna, provinsi Kepulauan Riau, Indonesia pada 6 Oktober 2016. (Foto: Reuters/Beawiharta)

Ikatan Pribadi yang Berkelanjutan dengan Militer

Terlepas dari jaringan politik dan kontribusi keuangan, hubungan pribadi mereka dengan militer dan jumlah pengaruh yang mereka pertahankan di antara para perwira junior atau kelompok anggota militer yang berseberangan dengan pemimpin mereka, adalah aset lain yang dapat menguntungkan kandidat presiden. Keterkaitan ini dapat dimanfaatkan untuk meminta dukungan dari rekan mereka di militer dengan, misalnya, memobilisasi aset militer.
Ini termasuk jaringan intelijen militer dan struktur komando teritorial untuk membantu memengaruhi pemilihan ke arah kandidat pilihan mereka.
Mobilisasi personel militer untuk memengaruhi jalannya pemilu bukanlah hal baru. Dalam Pemilihan Gubernur Kepulauan Riau 2016, misalnya, ada indikasi kuat dan banyak laporan yang menunjukkan adanya mobilisasi beberapa kelompok militer Indonesia untuk melemahkan kandidat yang didukung PDI-P.
Dukungan semacam itu—jika itu terjadi—kemungkinan bersifat transaksional. Sebagai imbalan untuk meningkatkan posisi mereka di dalam militer (TNI) untuk memobilisasi dukungan demi seorang calon atau calon lain, para perwira TNI saat ini dapat menerima manfaat dari para pensiunan pelindung mereka.
Ini berkisar dari perlakuan istimewa mengenai penempatan, promosi yang dipercepat, manfaat moneter, atau akses kepada peluang bisnis pasca-pensiun—jika kandidat yang mereka dukung memenangkan pemilu.
Alih-alih memberi manfaat kepada TNI sebagai sebuah institusi, manfaat timbal balik semacam ini terbatas pada individu.

Batasan Ketat untuk Petugas Aktif

Untuk personel militer yang bertugas aktif, menyalahgunakan wewenang mereka sebagai anggota TNI untuk memengaruhi pemilu membawa sejumlah besar risiko. Personel militer secara profesional dan legal dilarang terlibat dalam kampanye politik, termasuk tindakan apa pun yang akan memengaruhi pemilih untuk memberikan suara bagi kandidat tertentu.
Selain itu, Panglima TNI, Kepala Angkatan Udara Marsekal Hadi Tjahjanto, telah berulang kali menekankan bahwa personel militer harus tetap tidak memihak dalam proses pemilu. Melanggar peraturan dan arahan Komandan dapat membahayakan karier mereka.
Jika TNI secara terang-terangan mendukung satu kandidat lebih dari kandidat yang lain, itu akan merusak kredibilitasnya sebagai salah satu lembaga publik yang paling tepercaya di Indonesia—sebuah reputasi yang telah dengan susah payah dibangun kembali oleh TNI dalam dua dekade sejak era reformasi.
Di Indonesia pasca-Soeharto—dengan masyarakat sipil dan media yang aktif—TNI telah berada di bawah pengawasan yang lebih ketat terkait adanya ketidakwajaran, dibandingkan sebelumnya.
Ini terbukti ketika pengaduan diajukan terhadap Bintara Pembina Desa (Babinsa) yang dianggap memengaruhi pemilih Jakarta secara tidak patut selama Pemilu 2014. Meskipun pada akhirnya dianggap sebagai kesalahpahaman, kasus ini mengilustrasikan kesadaran publik yang meningkat terhadap setiap pelanggaran terkait pemilu oleh pihak militer.
Presiden Indonesia, Joko Widodo (kedua dari kiri), didampingi oleh Jenderal Tinggi Moeldoko (kiri) dan Jenderal Gatot Nurmantyo, saat peresmian latihan militer TNI di Baturaja, Sumatra Selatan, pada tahun 2016. (Foto: AFP/Istana Kepresidenan/Rusman)

Purnawirawan Tak Menghilang Begitu Saja

Tidak ada yang salah dengan pensiunan perwira militer berpangkat tinggi menyatakan dukungan mereka untuk seorang calon presiden atau terlibat dalam kegiatan politik, karena mereka sekarang secara teknis adalah warga sipil dan menikmati hak untuk bergabung dan berpartisipasi dalam proses demokrasi yang diberikan kepada warga sipil lainnya.
Namun, masih ada pertanyaan tentang mengapa begitu banyak dari mereka yang begitu aktif dalam politik setelah meninggalkan militer.
Motivasi pribadi—entah kewajiban untuk negara, keinginan untuk mendapatkan lebih banyak kekuasaan dari jabatan publik, atau aspirasi untuk jabatan politik atau bahkan untuk mengisi waktu luang mereka—adalah salah satu elemen yang mungkin mendorong tren ini.
Penelitian yang sedang berlangsung menunjukkan bahwa tren ini adalah warisan dari Orde Baru, ketika korps perwira mempertahankan hubungan yang sangat pribadi dengan tingkat pemerintahan tertinggi, dan bahwa generasi perwira tetap aktif secara politik bahkan bertahun-tahun setelah mereka meninggalkan militer.
Mengingat tren saat ini bertepatan dengan kepresidenan Jokowi, kita juga dapat membuat argumen bahwa mereka dapat terus memainkan peran dalam politik Indonesia, sebagian karena para politisi menyadari bahwa para pensiunan ini masih sangat berpengaruh dan dapat membantu mereka untuk menang dan mengungguli saingan-saingan mereka.
Di sisi lain, manfaat yang sama yang ditawarkan para purnawirawan ini juga memberi mereka kesempatan untuk mengejar kepentingan politik mereka secara aktif. Tentara tua tidak pernah mati, dan dalam kasus Indonesia, mereka juga jarang menghilang begitu saja.
Keoni Marzuki adalah Analis Senior Program Indonesia, Sekolah Studi Internasional S. Rajaratnam (RSIS), Universitas Teknologi Nanyang (NTU), Singapura. Ini adalah bagian dari Seri RSIS untuk topik Pemilihan Presiden Indonesia tahun 2019.
Keterangan foto utama: Presiden Indonesia Joko Widodo (kanan) melantik Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto (kiri) sebagai kepala militer baru di istana presiden, Jakarta, pada 8 Desember 2017. (Foto: AFP/Gagah Adhaputra)
Sumber : UC News (mata mata politik - Author)