Hutang Lagi 300 Dolar AS, Jokowi Ingkar Janji
Presiden Jokowi bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani
BANDARpost , Jakarta - Disetujuinya pengajuan pinjaman 300 juta dolar Amerika Serikat untuk Indonesia oleh Dewan Direktur Eksekutif Bank Dunia, kerap menimbulkan kritik di berbagai kalangan. Adapun pinjaman itu disebut-sebut untuk meningkatkan prasarana dan pelayanan dasar yang relevan dengan pariwisata, memperkuat hubungan ekonomi lokal dengan kepariwisataan dan menarik investasi swasta ke Indonesia.
Ketua Majelis perkumpulan aktivis Pro Demokrasi (ProDem), Syafti Hidayat, mengkritik langkah pemerintah tersebut. Bahkan, ia kembali menagih janji Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) semasa kampanye Pilpres 2014.
"Pemimpin yang hebat itu harus satu kata dengan perbuatannya. Pada saat kampanye Pilpres 2014 salah satu janji Jokowi adalah menolak hutang luar negeri. Rekam digital soal menolak hutang luar negeri masih bisa dibaca hingga kini. Tapi Jokowi terus melanggar janjinya sendiri," ujar Syafti saat di Jakarta, Selasa (5/6/2018).
Syafti menilai pemimpin yang ingkar janji tidak akan dipilih rakyat lagi. Sebab utang luar negeri selama ini bukanlah untuk memperbaiki ekonomi bangsa. Yang ada, ekonomi rakyat malah semakin susah karena harus membayar pajak yang besar agar pemerintah mampu mencicil utang.
"Hutang yang dilakukan Jokowi ini akan menambah beban rakyat," pungkasnya
Pengamat ekonomi-politik Ichsanuddin Noorsy mengatakan, Bank Dunia telah menempatkan utang luar negeri Indonesia di level bahaya. Sebab, fluktuasinya sudah di atas 30 persen.
Menurut Ichsanuddin, jika beban utang luar negeri suatu negara itu fluktuasinya mencapai 30 %, maka dalam level bahaya. Bank dunia menempatkan Indonesia pada level tersebut, dengan fluktuasi beban utang luar negeri sebesar 34,08%.
"Dan, selama negara didekte oleh asing, maka Indonesia sampai 2040 tak akan mampu menghadapi kekuatan asing," katanya di Jakarta, Selasa (5/6/2018).
Ia mengungkapkan, terdapat negara-negara yang memberi pinjaman kepada Indonesia. Antara lain, kata dia, Singapura (58 M dollar AS), Jepang (31 M dollar AS), Belanda (11 M dollar AS), Amerika Serikat dan lain-lain.
Direktur Program Centre for Ekonomic and Democracy Studies, Edy Mulyadi mengatakan bahwa utang Indonesia saat ini di rezim Jokowi sudah sangat menyedihkan.
"Ini jumlah yang sangat besar, walaupun pemerintah mengatakan bahwa ini sangat aman dengan alasan patokan dari PDB kita," terangnya di Jakarta, Selasa (5/6/2018).
Dengan utang yang sungguh besar itu, menurutnya pemerintah dan warga seolah-olah dibuat lalai.
"Kalau kita menghitung dengan PDB, itu tidak sahih betul. Orang itu kan memberikan utang dengan sebetulnya mempunyai harapan seberapa mampu kita mampu membayarnya. Pembayaran itu di antara lain dengan pajak dan dari ekspor kita," kata dia.
Padahal pajak saat ini terus menunjukkan penurunannya. Naik sedikit, kemudian melandai.
"Ini sangat berbahaya jumlah utang yang kita miliki. Jadi berulang kali pemerintah melalui Menkeu berutang untuk menambal APBN untuk itu kita perlu utang lagi untuk bangun infrastruktur. Itu tidak juga untuk bangun infrastruktur," sambungnya.
Dia menyebutkan bahwa ada setidaknya Rp486 triliun hanya untuk bayar utang dan 200 sekian triliun hanya untuk membayar bunganya saja. Yang kedua baru anggaran untuk pendidikan itu sekitar 200-an triliun. Infrastruktur justru yang ketiga.
"Jadi kita ini sebetulnya berutang untuk bayar utang. Karena lobang kita ini sudah besar sekali. Jadi kita ini sudah masuk ke dalam fase yang disebut dengan jebakan utang. Sehingga kita akan terus bergelut dengan utang dan utang lagi," tutupnya.
Adapun hutang luar negeri pemerintah tercatat hingga akhir Februari lalu sudah mencapai Rp4.754 triliun. Kondisi tersebut membuat Ketua DPR Bambang Soesatyo khawatir hal itu mempengaruhi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Meski rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) masih di bawah 30 persen, lanjut Bambang, kurs rupiah yang mengalami depresiasi terhadap dolar Amerika Serikat bisa berdampak terhadap APBN.
"Imbasnya ke pembayaran cicilan utang luar negeri yang makin membebani APBN," ujarnya, Kamis (5/6/2018).
Karena itu, politisi yang akrab disapa Bamsoet ini meminta Komisi XI DPR mengingatkan agar pemerintah tidak ‘ugal-ugalan’ dalam mengelola utang negara. Politikus berlatar pengusaha itu juga mengingatkan pemerintah untuk menggunakan dana hasil utang buat sektor-sektor produktif.
"Sehingga mampu menghasilkan penerimaan negara," harapnya.
Sumber : HanTer
Tidak ada komentar:
Posting Komentar