KPU MAIN KAYU ? (Studi Kasus Penjegalan PBB)
Oleh: Nasrudin Joha
BANDARpost, Sulit untuk menghindari praduga publik, bahwa ada intervensi kekuasaan dibalik tidak lolosnya Partai Bulan Bintang (PBB) sebagai partai peserta Pemilu. diluar konteks substansi, rasanya mustahil jika PBB tidak lolos verifikasi perpartaian, sementara partai Garuda yang berasal dari unsur “Antah Barantah” ternyata bisa diloloskan.
Partai Garuda yang tidak diketahui secara jelas track recordnya, tidak diketahui dari rahim mana ia dilahirkan, justru lolos ferifikasi. Boleh saja ada dalih, sepanjang persyaratan dipenuhi partai apapun bisa ikut pemilu.
Namun, melihat pola kekuasaan yang telah masuk ke berbagai lini sendi bernegara, sulit untuk menerima ketidaklulusan PBB mengikuti ferifikasi kepartaian merupakan murni peristiwa administrasi. Yang lebih rajih, PBB tidak lolos disebabkan adanya intervensi kekuasaan.
Jika dibandingkan dengan PSI misalnya, tentulah PBB lebih memiliki akar politik baik di pusat maupun di daerah, apalagi PBB bukanlah partai pendatang baru. PBB adalah partai politik yang dipandang Pelanjut perjuangan Masyumi, yang telah beberapa kali pula mengikuti Pemilu.
Nampaknya PBB agak perlu berkeringat untuk bisa melakukan upaya hukum atas keputusan KPU di PTUN. Hanya saja, yang menjadi soal adalah soal waktu. Proses hukum yang panjang, akan membuat PBB kehilangan banyak waktu untuk menyongsong pemilu dan Pilkada di tahun 2018 dan 2019.
Meski satu sisi PBB layak marah kepada KPU, namun disisi lain PBB sebenarnya bisa berbesar hati atas hikmah dari keputusan ini. Artinya, resistensi KPU terhadap PBB -yang diduga kuat adanya keterlibatan tangan kekuasaan- menunjukan betapa posisi PBB sangat diperhitungkan oleh penguasa.
Terlebih lagi, pasca khianatnya partai Islam dan partai berbasis masa Islam dalam gelaran Pilkada DKI Jakarta, termasuk bangunan kemitraan koalisi pelangi pada beberapa Pilkada, menjadikan umat memiliki harapan besar untuk melabuhkan pilihan politik pada PBB.
Dugaan penulis, prediksi perolehan suara untuk PBB bisa melebihi suara Partai HANURA dan boleh jadi bisa mengungguli suara PPP.
Kondisi ini tentu saja mengkhawatirkan bagi partai Islam atau partai berbasis masa Islam lain. Posisi politik PBB, bisa menyebabkan konsituen mereka bermigrasi dan mengalihkan dukungan politiknya untuk kemudian menambatkannya pilihannya pada PBB.
Pada titik tertentu itulah “Partai-partai Islam dan partai berbasis masa Islam” ikut tersenyum melihat kegagalan PBB. Putusan KPU ini, membuat mereka sedikit lega karena potensi migrasi konsituen tidak terjadi dengan gagalnya PBB menjadi partai peserta Pemilu. Sampai disini, umat bisa memahami betapa jahatnya politik sekuler itu.
Akan halnya keputusan KPU, tentu saja hal ini bisa ditafsirkan sebagai satu keputusan musykil. Keputusan yang membuat siapapun yang berakal akan berontak dan langsung mengeluarkan ujaran dakwaan, KPU main kayu. KPU main pukul, main hantam duluan, urusan pengadilan belakangan.
Nampaknya teori pembubaran HTI juga dipraktikkan oleh penguasa dalam konteks penghalangan PBB untuk maju dalam kontestasi pemilu. PBB dipaksa “Diganjal” oleh keputusan KPU, sebelum masuk pada pertarungan politik sesungguhnya.
Sampai disini, umat bisa memahami betapa orang-orang kafir dan munafik tidak pernah memberikan jalan sedikitpun bagi umat Islam untuk menguasai Pemerintahan. Umat harus terus bersabar diposisi politik yang selalu terdzalimi. Akankah umat terus diam dan mengalah? [].
Sumber :Dakwah media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar