KontraS Desak Polri Transparan atas Kematian Jefri
KontraS mengatakan, hal-hal tersebut di atas patut diperhatikan untuk menghindari peristiwa serupa, sebagaimana pernah terjadi dalam kasus kematian Siyono.
rifa'i fadhly/hidayatullah.com
KontraS.
BANDARpost – Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mempertanyakan tanggung jawab kepolisian (Polri) dalam kasus kematian Muhammad Jefri (MJ) saat berada di bawah penguasaan Tim Densus 88.
Diketahui, saat ditangkap pada Rabu (07/02/2018) lalu di Indramayu, Jawa Barat, Jefri dalam keadaan sehat. Dan dipulangkan beberapa hari setelahnya dalam keadaan tak bernyawa.
Selain itu, menurut pihak keluarga, kata Koordinator Badan Pekerja KontraS, Yati Andriyani, penangkapan terhadap yang bersangkutan juga tidak disertai dengan surat perintah penangkapan dan penahanan.
“Kami juga menyayangkan penjelasan mengenai kematian MJ baru disampaikan oleh Polri pada 15 Februari 2018 atau satu minggu setelah kematian MJ setelah media massa memberitakan peristiwa ini,” ungkap Yati dalam rilisnya diterima hidayatullah.comsemalam.
KontraS menilai, dalam penjelasan yang disampaikan Polri mengenai kasus ini masih terdapat ketidakjelasan informasi dari Polri dan potensi kecacatan dalam operasi terkait pemberantasan terorisme oleh Tim Densus 88.
“Dalam kasus ini tidak dijelaskan secara terbuka bagaimana penanganan terhadap para terduga terorisme atau dugaan tindak pidana lainnya saat berada di bawah penguasaan Tim Densus 88.
Bagaimana perlakuan terhadap mereka yang memiliki penyakit atau riwayat penyakit yang dapat mematikan, seperti serangan jantung atau lainnya. Metode pendekatan atau penggalian informasi seperti apa yang dilakukan seharusnya dilakukan terhadap terduga pelaku tindak pidana yang memiliki penyakit atau riwayat penyakit yang mematikan,” ungkapnya.
Jika benar yang bersangkutan (Jefri) meninggal karena serangan jantung, maka patut dipertanyakan tindakan Tim Densus yang seperti apa yang membuat MJ mengalami serangan jantung. “Karena sebagaimana diketahui serangan jantung dapat terjadi akibat dipicu oleh kondisi dan situasi tertentu,” imbuhnya.
Dalam hal ini, jikapun benar Jefri meninggal karena serangan jantung, maka rangkaian peristiwa mengapa serangan jantung itu terjadi harus didalami.
“Hal apa yang mengakibatkan serangan jantung tersebut dapat terjadi mengingat MJ tewas saat tengah berada di bawah penguasaan Densus 88,” ungkapnya.
KontraS menilai, hal itu harus dijelaskan dan dipertanggungjawabkan jika terbukti serangan jantung terjadi karena adanya kelalaian berupa perlakuan yang tidak patut terhadap Jefri yang memiliki riwayat atau indikasi penyakit tertentu.
“Pemberantasan tindakan terorisme adalah kerja penting untuk keamanan negara dan warga negara, namun demikian penanganan yang tidak berkesesuaian dengan parameter hukum dan HAM tidak dapat dibenarkan,” ungkapnya.
Oleh karenanya, kata Yati, pernyataan Sekretaris Biro Internal Divisi Profesi dan Pengamanan (Divisi Propam) Mabes Polri jangan terburu-buru memberikan kesimpulan dalam melakukan penyidikan kasus ini, sebelum dilakukan pemeriksaan secara menyeluruh.
Dan sebelum memastikan tidak menutup proses pemeriksaan lebih lanjut, termasuk kemungkinan autopsi ulang untuk memastikan pemeriksaan yang independen dan akuntabel dalam kasus ini.
KontraS mengatakan, hal-hal tersebut di atas patut diperhatikan untuk menghindari peristiwa serupa, sebagaimana pernah terjadi dalam kasus kematian Siyono di Klaten, Solo, Jawa Tengah, 10 Maret 2016 lalu.
Dalam kasus kematian Siyono ini, ungkapnya, dua orang anggota Densus 88 hanya diberikan sanksi etik yakni sanksi hukuman demosi tidak percaya dan diwajibkan untuk meminta maaf kepada atasannya, meski kemudian keduanya mengajukan banding.
“Kami khawatir cara-cara penanganan terorisme yang kontroversial, tidak transparan, dan tidak memperhatikan parameter HAM dan aturan hukum yang ada justru akan memicu, menyuburkan, atau membuat rantai ekspresi atau tindakan terorisme lainnya.
Dalam hal ini aturan penanganan tindak pidana terorisme, secara jelas telah menekankan pentingnya akuntabilitas dalam penindakan terhadap tersangka sesuai dengan prosedur dalam perundang-undangan yang ada, dan penindakan yang menyebabkan kematian tersangka harus dapat dipertanggungjawabkan (Perkap Kapolri No 23/2011 Tentang prosedur penanganan tindak pidana terorisme, pasal 3 huruf e, dan pasal 19, ayat 3),” ungkapnya.*
Rep: Muhammad Abdus Syakur
Editor: Muhammad Abdus Syakur
Sumber : Hidayatullah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar