Kerasnya Pertarungan Jokowi Vs Non-Jokowi, Simak Tandanya - BANDAR post

Hot

Sabtu, 27 Januari 2018

Kerasnya Pertarungan Jokowi Vs Non-Jokowi, Simak Tandanya

Kerasnya Pertarungan Jokowi Vs Non-Jokowi, Simak Tandanya

 

Alfi Rahmadi

BANDARpost, Peta Pemilihan Presiden (Pilpres) RI 2019 akan menemui titik terang pacsa 9 Juli 2018. Itulah tanggal yang menentukan hasil Pilkada serentak 2018. Masa rekapitulasi hasil penghitungan suara oleh KPU dalam Pilkada serentak 2018 berakhir di tanggal itu.

Hasil perolehan suara tersebut akan tergambarkan poros dan agen politik mana saja yang menguasai raupan suara sebagai barometer peta suara Pilpres 2019. Untuk sementara, sebelum hari penghitungan suara Pilkada serentak 2018 itu tiba, kandidat calon presiden (Capres) hanya tergambarkan dua kandidat saja: Joko Widodo (Jokowi) dan Non- Jokowi.

Presiden Jokowi diarak TNI [Okezone.com]

Saya menggunakan istilah Non-Jokowi karena sampai sejauh ini belum ada lawan sebanding dengan Presiden RI ke-7 itu. Terlampau sering lembaga survei opini publik menyajikan elektabilitas para kandidat. Jokowi tak ada lawan. Bila disimulasi Jokowi head to headPrabowo Subianto, sampai Desember 2017 Jokowi masih bertengger di atas 50 persen. Prabowo masih saja di bawah 35 persen.

Petinggi Partai Gerindra sering beralasan perolehan minim itu karena Prabowo belum bergerak. Sejauh inipun belum mendeklarasikan diri. Tapi alasan ini dalam dinamika politik yang bergerak cepat tak berlaku. Seolah-olah mesin mobil harus sejak dini dipanaskan, itulah kenapa PKS sebagai kawanan setia Gerindra mulai menjaring Capres 2019 dari internal partainya.

Di luar PKS dan Gerindra, nama Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pun digadang-gadang dalam operasi opini publik oleh para loyalisnya. Sokongan dari kelompok Islam politik terhadap Anies sampai hari inipun masih mengalir deras. Mudah untuk membaca sokongan ini.

Di sosial media, apapun kebijakan Anies pasti tersorot. Massa kelompok Islam politik tak henti mengunduh status sekaligus menebar konten pro kebijakan Anies dan memolesnya seharum parfum, meski sebagian besarnya bukan warga DKI Jakarta. Mereka bahkan kerap “bertempur” di media sosial melawan kelompok yang kerap mendelegitimasi kebijakan sang pujaan.

Pada situasi demikian itulah suhu panas politik Tanah Air tetap awet. Hingga kelak menjelang pemilihan dalam Pilkada 2018 setidaknya ada dua eskalasi makro politik nasional yang mewarnai kehidupan bangsa. Dua eskalasi tersebut adalah arus isu besarnya.

Isu besar tersebut: selain memunculkan kandidat penantang terkuat Jokowi dari kubu Non-Jokowi juga massifnya penguatan dukungan Jokowi. Sejumlah isu panas yang bergulir sebelum akhir Januari 2018 pun adalah riak dari dua arus isu besar tersebut.

Menyambut Februari 2018 semakin keras pertarungannya. Isu eksistensi militer dalam panggung politik nasional yang berhembus kembali sejak Jokowi memilih Jenderal TNI (purn) Moeldoko dan Jenderal TNI (purn) Agum Gumelar untuk menemaninya di Istana dapat merangkum kerasnya pertarungan.

Dua sosok ini, bukanlah dibaca secara personal (personality) dalam kapasitas Kepala Staf Kepresidenan (KSP) pengganti Teten Masduki dan Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) pengganti alm.KH. Hasyim Muzadi. Tapi lebih kepada efek ikutan penarik gerbong (bandwagon effect). Dalam hal ini, Jokowi nampak hendak melepas anak panah ke tiga arah sekaligus dalam waktu bersamaan atau secara simultan.

Pertama, sokongan kelompok militer—dalam kontestasi kekuasaan politik aktornya adalah kalangan purnawiran—merupakan tiket pengamanan berlapis sekaligus alternatif Jokowi memenangi Pilkada serentak 2018. Tak terkecuali sebagai mesin politik Pilpres 2019.

Membaca kekuatan utama Jokowi sejak Pilpres 2014 sampai hari ini tetap bukan dari pendekatan mesin partai politik, termasuk bukan PDI Perjuangan. Melainkan rekahan struktur kantong sosial-budaya masyarakat. Faktanya, hingga menjelang tahapan KPU menetapkan pasangan calon kepala daerah, 2 Februari 2018, benar-benar terjadi koalisi bebas di tubuh partai.

Skema barisan partai koalisi pendukung pemerintah dengan partai oposisi dalam makro politik nasional tidak berlaku dalam kontestasi mikro politik Pilkada serentak 2018. Karena bagi partai, mereka menyesuaikan kepentingan pragmatisnya berdasarkan kekuatan politik elektoral wilayah dan daerah penyelenggaraan Pilkada.

Gerinda dan PKS, faktanya sebangku dengan PDI Perjuangan dan PKB, mengusung Syaifullah Yusuf dan Puti Guntur Soekarnoputri pada Pilgub Jawa Timur. Ini berlawanan dengan arah politik Jokowi pada pasangan Khofifah-Emil Dardak; disokong Demokrat, Golkar, Nasem, Hanura, PAN dan PPP.

Kedua, Jokowi menarik gerbong purnawiran TNI juga nampak sebagai pemecah konsentrasi kelompok Islam politik aliran puritan yang masih tertumpuk di poros Prabowo Subianto dan terwariskan ke agen Anies Baswedan.

Target minimalisnya: melunakan persepsi haters Jokowi melalui isu Kebangsaan dan hubungan mesra TNI dengan umat Islam. Barisan purnawiran TNI juga didaya-gunakan dalam mengawal potensi konflik laten dari kebijakan Istana yang kelak mendistribusikan aset tanah kepada ormas menjelang Pilpres 2019.

Ketiga, gerbong purnawirawan TNI menjadi semacam penjamin di balik layar dari upaya Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto yang sekarang ini hendak memperjelas rumusan tugas prajurit TNI menanggulangi terorisme dalam RUU Anti-Terorisme.

Ketua DPR baru, Bambang Soesatyo, sudah menyatakan meminta kepada Pansus RUU ini untuk menunda pembahasan. Sebabnya, sudah memasuki tahun politik dan itu berpotensi menimbulkan gesekan antara TNI-Polri, dilansir dari Detik.com (24/01/2018).

Bisa dimaklumi Panglima TNI menyuarakan kembali wacana itu di tahun politik. Tak lain mengantisipasi potensi ancaman keamanan di tengah eskalasi panas Pilkada serentak 2018 yang bisa berbelok pada tindak pidana terorisme.

Toh, mayoritas jenderal purnawiran selama ini juga getol menyuarakan keseteraan TNI dengan Polri dalam menangani permasalahan keamanan nasional, termasuk di dalamnya terorisme itu.

Dari tiga busur panah yang dilepaskan Jokowi sebagaimana di atas, PDI Perjuangan sangat sigap membendung gerbong militer di kubu Jokowi. Wacana Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menunjuk Jenderal Polisi untuk menjadi Plt Gubernur Jawa Barat dan Sumatera Utara, nampak semacam nuansa batin petinggi PDI Perjuangan untuk mengimbangi “permainan” Jokowi.

Ringkas kata: bila Jokowi menarik gerbong TNI, maka PDI Perjuangan menyokong gerbong Polri. Kalau begini jadinya, situasi politik Republik semakin panas! []

Sumber :UCnews 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar