Ahok Ajukan PK, Begini Tanggapan Pelapor
BANDARpost , Jakarta – Terpidana kasus penistaan agama, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok mengajukan peninjauan kembali (PK) atas perkara yang menyeretnya ke balik jeruji besi. Mantan Gubernur DKI Jakarta ini melalui pengacaranya mengajukan PK pada 2 Februari 2018 atas putusan PN Jakarta Utara yang telah berkekuatan hukum tetap.
Salah satu saksi pelapor dalam kasus penistaan agama Ahok, Pedri Kasman mengungkapkan bahwa pengajuan PK ke Mahkamah Agung (MA) merupakan hak Ahok sebagai warga negara.
“Siapa pun tentu harus menghargainya karena negara ini adalah negara hukum. Semua tindakan hukum harus diuji di pengadilan. Namun, tentu saja Mahkamah Agung yang dalam hal ini diwakili oleh Majelis Hakim akan sangat hati-hati dan haruslah obyektif,” ungkapnya dalam rilis yang diterima Kiblat.net, Jumat (23/02/2018).
Menurut Sekretaris Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah ini, Majelis Hakim tak akan sembarangan mengabulkan PK Ahok tersebut. Pasalnya, kasus ini sudah melalui proses yang sangat panjang, mulai dari penyelidikan yang disertai gelar perkara sedemikian rupa.
“Persidangannya berlangsung sampai 23 kali, melibatkan puluhan saksi dan ahli, disertai puluhan bukti berupa video, surat, dokumen dan lain-lain. Memang betul PK adalah hak setiap terpidana, akan tetapi hak itu harus ditelisik novumnya, bukan semata dilihat sebagai hak,” ungkapnya.
Novum adalah situasi ketika ditemukannya bukti baru atau keadaan baru yang merupakan salah satu syarat materil untuk mengajukan upaya hukum peninjauan kembali (PK) baik perkara pidana maupun perdata.
Pedri pun menyebutkan bahwa sesuai Pasal 263 Ayat (2) KUHAP, dalam permintaan peninjauan kembali, Majelis Hakim harus memperhatikan kelayakan PK ini untuk diterima atau ditolak.
“Pertama, apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan,” sebut Pedri.
Kedua, apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain.
Ketiga, apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
“Demi tegaknya hukum dan keadilan kita berharap Majelis hakim tegas dan berani dalam mengambil keputusan. Jika ternyata tidak memenuhi alasan-alasan hukum di atas, sudah semestinya Mahkamah Agung menolak upaya PK oleh Ahok, terpidana penodaan agama ini,” tukasnya.
Sumber : Kiblat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar