Sur’atul Istijabah
BANDARpost, Kesetiaan seorang pekerja kepada atasannya diukur dengan kecepatannya melaksanakan perintah dan menjauhi larangan atasan tersebut. Demikian juga dalam hubungan interaksi seorang manusia dengan Allah Ta’ala. Dalam hubungannya ini, seorang muslim bagaikan seorang pekerja terhadap Tuannya. Bahkan Allah melebihi Tuan mana pun di permukaan bumi ini, Dia memberikan fasilitas kepada hamba-Nya dengan berbagai kenikmatan hidup yang tidak dapat dibalas dengan harga semahal apapun. Karena itu, sebagai hamba, manusia yang beriman kepada Allah Ta’ala wajib sesegera mungkin merespon apa saja yang Allah Ta’alaperintahkan sekuat kemampuannya. Manakala ia dilarang atau diharamkan terhadap sesuatu, maka dengan cepat dia harus .menghentikannya. Sikap demikian itu disebut “Sur’atul Istijabah” (Respon yang cepat).
Respon yang tinggi dan cepat dari seorang muslim terhadap perintah dan laranganNya ini merupakan buah keimanannya kepada Allah, Malaikat, Kitab, dan Rasul-rasul-Nya. Keimanan yang benar dan mendalam merupakan modal utama dari “istijabah”, sebagaimana dinyatakan di dalam Al Qur-anul Karim,
آمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آمَنَ بِاللَّهِ وَمَلائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْ رُسُلِهِ وَقَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ
“Rasul telah beriman kepada al-Qur’an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): ‘Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya’, dan mereka mengatakan, ‘Kami dengar dan kami ta’at’. (Mereka berdoa): ‘Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali’”. (QS.Al Baqarah, 2: 285)
Sikap “sam’an wa tha’atan” (mendengar dan taat) merupakan tuntutan iman. Dengan kata lain, iman seseorang tidak dapat dianggap benar dan lurus sebelum melahirkan sikap ini dalam kehidupan sehari-hari.
Iman sejati membawa orang beriman pada perjanjian yang mengikat dengan Allah Ta’alauntuk melaksanakan syariat-Nya di muka bumi. Sebagai contoh, ayat dalam Surat Al Baqarah di atas, sebelumnya didahului dengan firman Allah Ta’ala ayat 284 yang membuat para sahabat Nabi menangis ketika ayat tersebut diturunkan. Pasalnya, dalam ayat tersebut Allah Ta’ala menyatakan bahwa Dia akan menghisab amal manusia baik yang tampak maupun tersembunyi dan Dia akan mengampuni atau mengazab manusia sesuai dengan kehendak-Nya,
لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَإِنْ تُبْدُوا مَا فِي أَنْفُسِكُمْ أَو تُخْفُوهُ يُحَاسِبْكُمْ بِهِ اللَّهُ فَيَغْفِرُ لِمَنْ يَشَاءُ وَيُعَذِّبُ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan di bumi. Dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu. Maka Allah mengampuni siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah, 2: 284)
Para sahabat Nabi menangis membaca ayat ini karena merasa betapa jiwa mereka tidak memiliki kemampuan untuk senantiasa bersih dari noda dan dosa. Namun di sisi lain mereka siap menerima ketentuan Allah Ta’ala dalam ayat ini. Lantaran itu mereka bertanya kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallamdan mendapat jawaban dengan turunnya ayat 285 – 286. Allah Ta’ala memuji kesiapan mereka untuk mendengar dan taat karena keimanan mereka kepada Allah Ta’ala yang memiliki langit dan bumi.
Ketika seorang muslim bersyahadat sebagai perwujudan keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya, hakikatnya dia telah melakukan jual beli dengan Allah Ta’ala. Dia sebagai pihak penjual dan Allah Ta’ala sebagai Pembeli. Syahadat yang diucapkan adalah bai’ah yang wajib direalisasikan dalam hidup keseharian. Seorang pedagang yang baik tidak akan memberikan barang dagangan yang buruk, palsu atau pun rendah kualitasnya. Apalagi pembelinya adalah Allah Ta’ala yang memberikan harga yang mahal yaitu syurga.
إِنَّ اللَّهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنْفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَيَقْتُلُونَ وَيُقْتَلُونَ وَعْداً عَلَيْهِ حَقّاً فِي التَّوْرَاةِ وَالْأِنْجِيلِ وَالْقُرْآنِ وَمَنْ أَوْفَى بِعَهْدِهِ مِنَ اللَّهِ فَاسْتَبْشِرُوا بِبَيْعِكُمُ الَّذِي بَايَعْتُمْ بِهِ وَذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu’min, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan al-Qur’an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.” (QS. At-Taubah, 9:111)
Karena harga tinggi (surga) yang diberikan oleh Allah Ta’ala inilah maka orang-orang beriman harus bersegera memberikan yang terbaik dalam hidupnya. Dalam hal ini kualitas tertinggi dari pencapaian iman seseorang adalah kesediaan memberikan nyawa di jalan Allah Ta’ala. Karena itu dinyatakan bahwa mereka siap berperang membunuh atau terbunuh.
Allah Ta’ala menuntut orang-orang beriman untuk berkomitmen terhadap perjanjian ini.
وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَمِيثَاقَهُ الَّذِي وَاثَقَكُمْ بِهِ إِذْ قُلْتُمْ سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ
“Dan ingatlah karunia Allah kepadamu dan perjanjian-Nya yang telah diikat-Nya dengan kamu, ketika kamu mengatakan :’Kami dengar dan kami ta’ati’. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui isi hati(mu).” (QS. Al Maaidah, 5: 7)
Pelajaran Dari Al Qur-an dan Sunnah
Al Quranul Karim dipenuhi ibroh dari kehidupan orang-orang beriman di masa lalu. Kisah-kisah di dalam Kitabullah bukan hanya sekedar cerita tetapi merupakan contoh teladan dan pelajaran yang penting bagi setiap insan beriman untuk meningkatkan kualitas imannya kepada Allah Ta’ala.
Salah satu kisah yang populer dalam menunjukkan sur’atul istijabah suatu kaum di masa lalu adalah kisah para hawariy yang merupakan sahabat dekat Nabi Isa ‘alaihis salam. Mereka memiliki kepekaan yang tinggi dalam memberikan reaksi terhadap peristiwa yang terjadi pada masyarakatnya. Manakala Bani Israil mengingkari Kerasulannya, Nabi Isa segera bertanya kepada para hawariy. Mereka segera pula memberikan jawaban yang menunjukkan kesiapan bekerjasama dengan pemimpinnya.
فَلَمَّا أَحَسَّ عِيسَى مِنْهُمُ الْكُفْرَ قَالَ مَنْ أَنْصَارِي إِلَى اللَّهِ قَالَ الْحَوَارِيُّونَ نَحْنُ أَنْصَارُ اللَّهِ آمَنَّا بِاللَّهِ وَاشْهَدْ بِأَنَّا مُسْلِمُونَ
“Maka tatkala Isa mengetahui keingkaran mereka (Bani Israil) berkatalah dia: ‘Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku untuk (menegakkan agama) Allah’ Para hawariyyin (sahabat-sahabat setia) menjawab: ‘Kamilah penolong-penolong (agama) Allah. Kami beriman kepada Allah; dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berserah diri.’” (QS. Ali Imran, 3:52)
Nyata sekali bahwa iman kepada Allah Ta’aladan penyerahan diri kepada syariat-Nya menjadikan para hawariy mempunyai kepekaan yang tinggi untuk segera merespon seruan dari pemimpin mereka. Selain itu sur’atul istijabah menunjukkan pemahaman yang mendalam kepada wahyu yang diturunkan, mengikuti petunjuk Rasul, dan mempunyai semangat serta cita-cita yang tinggi. Perhatikan kelanjutan ayat berikut ini,
رَبَّنَا آمَنَّا بِمَا أَنْزَلْتَ وَاتَّبَعْنَا الرَّسُولَ فَاكْتُبْنَا مَعَ الشَّاهِدِينَ
“Ya Tuhan kami, kami telah beriman kepada apa yang telah Engkau turunkan dan telah kami ikuti rasul, karena itu masukkanlah kami ke dalam golongan orang-orang yang menjadi saksi (tentang keesaan Allah)” (QS. Ali Imraan, 3:53)
Dalam kisah hidup Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam kita juga menemukan kecepatan reaksi para sahabat ketika mereka menerima seruan Nabi. Hal ini karena mereka ingin mengikuti keteladanan para hawariy Isa dalam menolong agama Allah,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا أَنْصَارَ اللَّهِ كَمَا قَالَ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ لِلْحَوَارِيِّينَ مَنْ أَنْصَارِي إِلَى اللَّهِ قَالَ الْحَوَارِيُّونَ نَحْنُ أَنْصَارُ اللَّهِ فَآمَنَتْ طَائِفَةٌ مِنْ بَنِي إِسْرائيلَ وَكَفَرَتْ طَائِفَةٌ فَأَيَّدْنَا الَّذِينَ آمَنُوا عَلَى عَدُوِّهِمْ فَأَصْبَحُوا ظَاهِرِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penolong-penolong (agama) Allah sebagaimana Isa putera Maryam telah berkata kepada pengikut-pengikutnya yang setia: ‘Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku (untuk menegakkan agama) Allah?’. Pengikut-pengikut yang setia itu berkata: ‘Kamilah penolong penolong agama Allah!’, lalu segolongan dari Bani Israil beriman dan segolongan (yang lain) kafir; maka Kami berikan kekuatan kepada orang-orang yang beriman terhadap musuh-musuh mereka, lalu mereka menjadi orang-orang yang menang.”(QS. As Shaf, 61:14)
Kecepatan merespon perintah pemimpin sangat penting dalam gerakan dakwah Islam. Ini dicontohkan sahabat, Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu katanya: Ketika ayat ini diturunkan:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَرفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ
(Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suara kamu melebihi suara Nabi). Hingga ke akhir ayat kedua surat al-Hujurat. Tsabit bin Qais sedang duduk di rumahnya dan berkata: “Aku ini termasuk ahli Neraka!” Beliau bersembunyi dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga beliau bertanya kepada Saad bin Muaz, “Wahai Abu Amru, bagaimanakah keadaan Tsabit , adakah dia sakit?”
Sa’ad menjawab, “Keadaannya seperti biasa dan aku tidak mendengar berita yang menyatakan dia sakit”. Lalu Sa’ad pun menziarahinya dan memberitahu kepadanya tentang percakapan beliau dengan Rasulullah. Tsabit berkata, “Ayat ini diturunkan, sedangkan kamu semua mengetahui bahwa aku adalah orang yang paling nyaring suaranya, melebihi suara Rasulullah. Kalau begitu aku ini termasuk ahli Neraka.” Maka Sa’ad menceritakan hal itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Bahkan dia termasuk dari kalangan ahli Surga.”
Hadits lain yang menceritakan bagaimana bersegeranya para salafus shalih melaksanakan perintah Allah Ta’ala dan rasul-Nya adalah hadits berikut ini,
عَنْ صَفِيَّةَ بِنْتِ شَيْبَةَ أَنَّ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا كَانَتْ تَقُولُ لَمَّا نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ { وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ } أَخَذْنَ أُزْرَهُنَّ فَشَقَّقْنَهَا مِنْ قِبَلِ الْحَوَاشِي فَاخْتَمَرْنَ بِهَا
Dari Shafiyyah binti Syaibah bahwa ‘Aisyah radliallahu ‘anha pernah berkata: “Tatkala turun ayat: ‘Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya..’ (An Nuur: 31). Maka mereka langsung mengambil sarung-sarung mereka dan menyobeknya dari bagian bawah lalu menjadikannya sebagai kerudung mereka”.(HR. Bukhari)
Dalam kitab Shahih Al-Bukhari dan Muslim dari Anas radhiallaahu anhu berkata: Abu Thalhah merupakan orang Anshar yang paling banyak hartanya –berupa pohon-pohon kurma– di Madinah. Harta yang paling ia sukai adalah Bairuha’ yang berada di depan masjid, Rasulullah shallallaahu alaihi wasalammemasukinya dan meminum airnya yang baik. Ketika turun ayat: “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS. Ali Imran, 3: 92)
Abu Thalhah berdiri di hadapan Rasulullah shallallaahu alaihi wasalam seraya berkata: “Wahai Rasulullah sesungguhnya Allah berfirman: “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS. Ali Imran, 3: 92)
“Sungguh harta yang paling aku sukai adalah Bairuha’, aku shadaqahkan untuk Allah, aku mengharap kebaikan dan simpanan (pahalanya) di sisi Allah, pergunakanlah wahai Rasul sebagaimana Allah menentukan pada Anda.”
Anas berkata: “Kemudian Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bersabda: ‘Engkau telah mendengar apa yang aku katakan dan aku berpendapat sebaiknya engkau menjadikannya untuk kerabat terdekatmu’.”
Abu Thalhah berkata: “Akan aku lakukan wahai Rasulullah.” Kemudian Abu Thalhah membagi untuk kerabatnya dan anak-anak pamannya
*****
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَحُولُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَقَلْبِهِ وَأَنَّهُ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ
“Hai orang-orang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya, dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan.” (QS. Al-Anfal, 8:24)
رَبَّنَا إِنَّنَا سَمِعْنَا مُنَادِياً يُنَادِي لِلْإِيمَانِ أَنْ آمِنُوا بِرَبِّكُمْ فَآمَنَّا رَبَّنَا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَكَفِّرْ عَنَّا سَيِّئَاتِنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ الْأَبْرَارِ
“Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman, (yaitu): ‘Berimanlah kamu kepada Tuhanmu’ maka kamipun beriman. Ya Tuhan kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang berbakti.” (QS. Ali Imran, 3:193)
Sumber : Tarbawiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar