Mendudukkan Hadits Akhir Zaman dengan Realita - BANDAR post

Hot

Minggu, 28 Januari 2018

Mendudukkan Hadits Akhir Zaman dengan Realita

Mendudukkan Hadits Akhir Zaman dengan Realita

BANDARpost – Pada tulisan sebelumnya telah disinggung tiga kaidah dalam memahami peristiwa akhir zaman. Di antara sebab ketergelinciran dalam memahami hadits-hadits akhir zaman adalah terlalu cepat mencocokkan realita dengan hadits tanpa adanya kajian yang mendalam. Melihat satu kecocokan antara keduanya, kemudian langsung menghukumi bahwa yang dimaksud dengan hadits tersebut adalah realita tersebut.

Sebagai contoh, saat Nabi Muhammad SAW menjelaskan bahwa di akhir zaman nanti umat beliau akan terpecah menjadi 73 golongan. Kemudian sebagian pihak, tanpa kajian yang komprehensif dan mendalam terhadap hadits dan realita, langsung menghukumi bahwa yang dimaksud dengan hadits tersebut adalah terkotak-kotaknya umat Islam dalam harokah ormas dan kelompok.

Seolah lupa bahwa berkumpulnya umat dalam satu mazhab atau dalam satu amal Islami tidaklah bisa mengeluarkan mereka dari Firqoh Najiyah (golongan yang selamat). Imam Asy-Syatibi berkata, “Kelompok-kelompok (yang disebut dalam hadits iftiroq) dapat dikategorikan melenceng dari Firqoh Najiyah jika menyelisihi hal-hal pokok agama atau keluar dari kaidah-kaidah dasar syariat.”

Lantas bagaimana cara mencocokkan hadits dengan realita? Jika kita melihat sejarah Nabi Muhammad SAW dan para sahabat kita akan menemukan rambu-rambu dalam mencocokkan hadits dan realita.

Di Madinah dahulu ada seorang anak Yahudi yang bernama Ibnu Shoyyad. Dia memiliki ciri fisik dan prilaku yang mirip dengan Dajjal. Bahkan Rasulullah SAW senantiasa terus memantaunya melalui para sahabat, untuk memastikan apakah dia ini Dajjal atau tidak?

Sementara sebagian sahabat menerapkan hadits-hadits tentang Dajjal kepada Ibnu Shoyyad, bahkan di antara mereka ada yang bersumpah jika Ibnu Shoyyad adalah Dajjal dan itu dilakukan di hadapan Nabi Muhammad SAW. Hal ini menunjukkan bahwa mencocokkan hadits-hadits akhir zaman dengan realita memiliki landasan syar’i, baik seperti yang dilakukan Rasul dengan mengkaji kecocokan antara hadits ciri-ciri Dajjal tanpa memvonis, namun ada juga yang menghukumi adanya kecocokan antara Ibnu Shoyyad dan hadits-hadits Dajjal, tanpa melihat kebenaran vonis tersebut.

Sikap tidak tergesa-gesa Nabi SAW dalam menghukumi Ibnu Shoyyad dapat dijadikan pelajaran penting. Yaitu, meski ada kemiripan tanda-tanda awal, akan tetapi hal itu tidak cukup dijadikan dasar untuk memastikan bahwa suatu realita cocok dan sesuai dengan hadits akhir zaman. Karena bisa saja fenomenanya mirip tapi yang dimaksud bukanlah realita tersebut.

Kehati-hatian Nabi Muhammad SAW terhadap Ibnu Shoyyad adalah cara yang benar, karena di kemudian hari terbukti bahwa Ibnu Shoyyad bukanlah Dajjal, meskipun ada kemiripan di berbagai ciri dan sifat.

Sementara apa yang disebutkan oleh Huzaifah bin Yaman bahwa dirinya kadang lupa tanda-tanda hari kiamat. Namun, jika ada sebuah fenomena yang sesuai barulah dia ingat bahwa fenomena tersebut adalah tanda hari kiamat, sebagaimana lupanya seseorang terhadap orang lain, dan jika ketemu lagi baru ingat kembali.

Keterangan di atas menunjukkan bahwa sahabat juga melakukan pencocokan antara realita dan hadits-hadits akhir zaman. Namun pencocokan tersebut dilakukan dengan ilmu dan bashiroh. Setidaknya untuk melakukan pencocokan harus melalui beberapa tahap dan rambu-rambu. Di antaranya :

Pertama, Mengkaji kecocokan hadits dengan realita secara komprehensif

Poin ini disimpulkan dari apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW terhadap Ibnu Shoyyad. Beliau selalu memantau keadaan Ibnu Shoyyad dari waktu ke waktu, dengan tujuan melihat sejauh mana kecocokan antara sifat-sifat Dajjal pada Ibnu Shoyyad. Dan kita tentunya tahu bahwa beliau adalah orang yang paling paham tetang sifat-sifat Dajjal.

Oleh karena itu untuk mengkaji kecocokan antara hadits akhir zaman dengan realita perlunya dua komponen utama. Pertama, adanya pemahaman yang utuh terkait nash yang akan dikaji kecocokannya. Yaitu dengan mengumpulkan riwayat-riwayat serupa yang shohih dan saling berkaitan. Kemudian mengkaji perkataan-perkataan salaf terkait nash yang dikaji. Kedua, mengamati dan mengkaji seluruh aspek realita dan sejauh mana kecocokannya dengan nash yang ada.

Kedua, Tidak Memvonis adanya Kecocokan antara Nash dengan Realita kecuali ada Dalil yang kuat.

Jika ada mendung dan angin, maka secara naluriah manusia akan berpikir akan turun hujan, ini adalah fitrah manusia. Manusia akan berpikir bahwa sesuatu akan terjadi jika muncul tanda-tanda awalnya. Hal ini sering terjadi juga dalam menyikapi nash-nash akhir zaman. Jika melihat sedikit kecocokan, kebanyakan manusia berkesimpulan bahwa suatu realita cocok dengan hadits tertentu.

Namun, sebagai orang beriman kita harus berhati-hati. Jangan sampai kita menghukumi kecocokan suatu realita dengan hadits akhir zaman kecuali ada dalil yang kuat. Baik itu berupa hadits lainnya, atau terkumpulnya qarinah-qarinah dengan adanya kecocokan dari segala aspek. Jika hal ini terjadi, dan kuat dugaan bahwa realita tersebut cocok dengan hadits, maka barulah mujtahid atau ulama menjelaskan adanya kecocokan tersebut, dengan tetap membuka adanya kemungkinan penafsiran lain dari hadits tersebut.

Ketiga, Memperhatikan Urutan Kejadian Sesuai Nash

Untuk sampai pada pemahaman yang benar dalam menyikapi nash-nash akhir zaman, maka harus melihat urutan-urutan yang disebutkan di dalam hadits. Sebagai contoh, antara peristiwa-peristiwa akhir zaman ada kembalinya khilafah ala minhajin nubuwwah, munculya imam Mahdi, keluarnya Dajjal, Turunnya Isa, penaklukan Roma, perang Malhamah Kubro.

Agar memiliki pemahaman yang utuh terhadap tragedi akhir zaman, ulama harus berijtihad untuk menyusun urutan-urutan dari kejadian tersebut. Yaitu dengan mengumpulkan semua riwayat yang shohih dan merujuk kepada pendapat para salaf dalam mengurutkannya.

Hal ini menjadi mendasar, karena jangan sampai seseorang mengkaji kecocokan sebuah hadits akhir zaman dengan realita, sementara fase sebelumnya belum terjadi. Sebagai contoh, ekspansi kerajaan Mongol ke negeri kaum muslimin menimbulkan kerusakan yang begitu besar dan di saat yang sama bangsa Mongol memiliki ciri-ciri yang sama dengan ciri fisik Ya’juj dan Ma’juj. Melihat kerusakan yang ditimbulkan dan ciri fisik yang sama kemudian sebagian orang berpendapat bahwa merekalah Ya’juj dan Ma’juj. Padahal, fase-fase sebelum keluarnya Ya’juj dan Ma’juj belum terjadi.

Keempat, Menimbang Maslahat dan Mafsadat

Adanya kecocokan antara tragedi akhir zaman dengan sebuah hadits adalah suatu perkara, sementara menyampaikan kecocokan tersebut kepada umat adalah perkara lain. Bisa saja seorang ulama meihat adanya kecocokan antara keduanya, tapi enggan untuk menyampaikannya kepada khalayak karena pertimbangan maslahat dan mafsadat.

Abu Huroiroh pernah berkata, “Saya menghafal 2 kelompok hadits dari Rasulullah SAW. Kelompok hadits pertama sudah saya sampaikan. Jika kelompok hadits kedua saya sampaikan, maka leher saya bisa dipenggal.” (HR Bukhori)

Mengomentari perkataan Abu Huroiroh, Ibnu Katsir berkata, “Kelompok hadits yang tidak sampaikannya adalah hadits-hadits fitnah akhir zaman, perang akhir zaman dan perangperang yang akan terjadi di kemudian hari. Jika beliau sampiakan maka banyak orang yang akan mendustakannya sehingga membuat mereka mendustakan kebenaran (hadits).” (Al-Bidayah wan- Nihayah 11/369)

Apa yang dilakukan oleh Abu Huroiroh juga dilakukan oleh Huzaifah bin Yaman, beliau adalah pemegang rahasia Rasulullah SAW. Hadits-hadits fitnah akhir zaman juga beliau dengar dari Nabi Muhammad SAW sebagaimana beliau juga mendengar dari Nabi nama-nam orang munafik. Terkiat nama-nama orang munafik beliau tidak pernah meriis daftar namanya. Hal ini karena jika daftar ini diungkap ke umat kala itu, maka akan timbul kegoncangan dan saling curiga di Madinah.

Sumber bacaan :

1. Malahim Akhiruz Zaman Indal Muslimin wa Ahlul Kitab wa Atsaruhal Fikriyah, karya Dr Yasir bin ABdurrahman Al-Ahmadi.

2. Fiqhu Asyrotis Sa’ah, Muhammad bin Ismail Al-Muqoddam

3. Artikel di Al-moslem.net dengan judul “Qowaid fi Fiqhil Futan wal Malahim”

Penulis: Miftahul Ihsan Lc.

Sumber : Kiblat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar